
Palembang, CimutNews.co.id — Gelombang protes dari Koalisi Masyarakat Anti Korupsi (K-MAKI) Sumatera Selatan kembali menggema di Palembang. Setelah sebelumnya melakukan aksi di depan Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan menuntut agar Jaksa Pengacara Negara (JPN) melayangkan kasasi, kini massa K-MAKI turun ke Pengadilan Tinggi (PT) Palembang, Selasa (14/10/2025).
Tujuan mereka jelas: mendesak pemeriksaan terhadap majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Balai yang memutus bebas terdakwa Nenek Ernaini, dalam kasus dugaan pemalsuan duplikat kutipan akta nikah — perkara yang sempat menyita perhatian publik karena dianggap janggal dan sarat kontroversi.
Desakan Pemeriksaan Etik untuk Hakim PN Pangkalan Balai
Ketua Deputi K-MAKI Sumsel, Feri Kurniawan, mengatakan aksi ini bukan sekadar unjuk rasa biasa, tetapi bentuk tekanan moral masyarakat sipil terhadap lembaga peradilan agar tetap menjunjung integritas dan keadilan hukum.
“Kami mendesak Pengadilan Tinggi Palembang untuk memeriksa hakim tingkat pertama atas vonis bebas tersebut. Ada banyak kejanggalan dalam pertimbangan hukum yang kami nilai tidak konsisten dengan fakta persidangan,” tegas Feri di tengah orasi aksi.
Menurutnya, vonis bebas yang dijatuhkan kepada terdakwa Nenek Ernaini tidak hanya mencederai rasa keadilan publik, tetapi juga menimbulkan kecurigaan terhadap objektivitas dan profesionalitas hakim dalam menilai bukti-bukti di persidangan.
“Majelis hakim mengakui tidak ada arsip resmi sebagai bukti, tapi tetap percaya pada cerita. Ini bukan sinetron, ini sidang pidana. Kalau begini, KUHP bisa diganti jadi KUA — Kitab Undang-Undang Asal,” sindirnya tajam, disambut sorakan massa.
Konteks Kasus: Akta Nikah Ganda dan Celah Hukum
Kasus yang melibatkan Nenek Ernaini bermula dari dugaan pemalsuan duplikat kutipan akta nikah, yang dinilai menyalahi prosedur hukum administrasi negara. Dugaan ini muncul setelah ditemukan adanya dua versi kutipan akta dengan data yang tidak sepenuhnya sinkron.
Dalam proses penyidikan, jaksa telah menghadirkan sejumlah saksi dan ahli, serta menunjukkan bukti administrasi yang dinilai kuat. Namun, dalam putusannya, majelis hakim PN Pangkalan Balai justru menyatakan terdakwa bebas dari segala tuntutan hukum dengan alasan tidak cukup bukti.
Putusan ini sontak menuai kritik luas dari publik dan aktivis antikorupsi. Mereka menilai, hakim terkesan mengabaikan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan mengedepankan interpretasi subyektif yang berpotensi menimbulkan preseden buruk bagi penegakan hukum.
Massa Tuntut Evaluasi dan Transparansi Pengadilan
Dalam aksinya di depan gedung PT Palembang, massa K-MAKI membawa sejumlah spanduk bertuliskan “Usut Tuntas Dugaan Kejanggalan Putusan Nenek Ernaini” dan “Hakim Harus Netral, Bukan Spekulatif!”.
Mereka menuntut agar Pengadilan Tinggi Palembang membentuk tim etik internal untuk menelusuri kemungkinan adanya pelanggaran prosedur atau penyimpangan etik dalam proses pengambilan putusan.
“Kami tidak ingin peradilan di Sumatera Selatan menjadi panggung drama hukum. Hakim harus berani memutus berdasarkan bukti, bukan cerita. Jika ditemukan pelanggaran, harus ada sanksi etik yang jelas,” tegas Feri Kurniawan.
Ia menambahkan, aksi ini juga menjadi simbol pengawasan publik terhadap lembaga yudikatif, agar kepercayaan masyarakat terhadap peradilan tidak semakin merosot.
Suara Publik dan Harapan Penegakan Keadilan
Beberapa perwakilan mahasiswa hukum dan aktivis perempuan turut hadir dalam aksi tersebut. Mereka menilai, kasus ini penting karena menyangkut hak dan martabat hukum perempuan serta transparansi lembaga peradilan.
“Jika ada pemalsuan dokumen nikah, dampaknya bisa luas — mulai dari hak waris, status hukum keluarga, hingga kepercayaan publik terhadap lembaga agama dan hukum. Maka, transparansi dalam kasus ini mutlak diperlukan,” ujar Rara Amelia, salah satu aktivis perempuan yang ikut dalam aksi.
Sementara itu, pihak PT Palembang melalui staf humas menyatakan akan menampung aspirasi dari massa aksi dan menyampaikan laporan tersebut kepada pimpinan pengadilan untuk ditindaklanjuti sesuai mekanisme hukum yang berlaku.
Tekanan Publik Sebagai Instrumen Reformasi
Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat kini semakin kritis terhadap proses hukum, dan tidak segan mengawasi jalannya peradilan. K-MAKI menegaskan bahwa gerakan mereka bukan untuk menekan hakim, tetapi untuk mendorong akuntabilitas dan reformasi sistem peradilan.
“Kami bukan anti-hakim, kami pro keadilan. Tapi kalau keadilan sudah mulai kabur, kami harus turun tangan. Karena kalau rakyat diam, hukum bisa kehilangan nyawanya,” tutup Feri Kurniawan dengan lantang. (red/CN)