
Kayuagung, cimutnews.co.id – Di sebuah sudut Dusun III, Desa Pematang Bukuran, Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), lahir sebuah kisah inspiratif tentang ketekunan, warisan budaya, dan ekonomi kreatif.
Adalah Suhaemi, seorang pengrajin yang dulunya menekuni tenun songket, kini mantap beralih ke dunia batik tulis. Perjalanan usahanya bukan sekadar tentang kain dan motif, melainkan tentang bagaimana ekonomi lokal bisa bertumbuh lewat tangan-tangan kreatif di pedesaan.(27/9/25)


Dari Tenun Songket ke Batik Tulis
Sebelum tahun 2023, keseharian Suhaemi diisi dengan menenun songket. Seperti banyak pengrajin di OKI, ia menjadikan songket sebagai sumber penghasilan sekaligus bentuk pelestarian budaya. Namun, sebuah pelatihan singkat membatik yang diselenggarakan Dinas Koperasi di Desa Pematang Kijang, Kecamatan Jejawi, mengubah jalan hidupnya.
Meski hanya berlangsung beberapa hari, pelatihan itu membuka cakrawala baru. Dari songket, ia mencoba peruntungan di batik tulis. Dunia yang sama-sama sarat makna budaya, tapi dengan tantangan dan peluang berbeda.
“Dulu saya hanya mengenal songket, tapi setelah belajar membatik, saya melihat peluang besar. Batik tidak hanya bernilai seni, tapi juga punya pasar luas,” ujar Suhaemi saat ditemui di rumah produksinya.
Tantangan Modal dan Akses Pembiayaan
Sayangnya, setelah pelatihan, dukungan lanjutan dari pemerintah nyaris tidak ada. Dinas Koperasi hanya memberi arahan agar pelaku usaha kecil mengakses permodalan lewat lembaga keuangan, seperti Bank BRI atau Bank Sumsel.
Suhaemi pernah mengajukan pinjaman modal sebesar Rp100 juta. Namun yang cair hanya Rp40 juta. Dana tersebut ia gunakan untuk merawat peralatan, membeli bahan baku, membiayai operasional produksi, dan menutup kebutuhan sehari-hari.
“Kalau modal terbatas, otomatis produksi juga terbatas. Padahal permintaan ada, tapi kapasitas belum mampu maksimal,” jelasnya.
Kisah Suhaemi menjadi potret umum bagaimana pelaku industri kecil menengah (IKM) di pedesaan masih menghadapi kesenjangan akses modal. Padahal, dengan dukungan permodalan yang cukup, produk batik lokal bisa menjadi komoditas unggulan bernilai ekonomi tinggi.
Proses Panjang yang Sarat Nilai Budaya

Batik tulis bukan sekadar kain bermotif. Prosesnya panjang, penuh detail, dan membutuhkan kesabaran luar biasa. Ada 12 tahapan utama yang harus dilalui sebelum selembar kain batik siap dipasarkan: mulai dari menggambar pola (nyungging), melukis dengan lilin (nglowong), mewarnai (nyolet dan ngelir), hingga tahap akhir meluruhkan malam (nglorod).
Setiap goresan canting adalah seni. Setiap titik dan garis menyimpan filosofi. Tidak heran, harga batik tulis bisa lebih tinggi dibanding batik cap atau printing. Nilai tambah inilah yang menjadi peluang besar bagi ekonomi kreatif di daerah.
“Kalau motif rumit, bisa satu bulan baru selesai. Kalau sederhana, sekitar 20 hari. Jadi memang butuh ketelatenan,” tutur Suhaemi.
Bahan Baku dari Luar, Pasar Masih Terbatas
Untuk memproduksi songket, benang emas biasanya didatangkan dari Palembang. Sementara kain untuk batik tulis masih bergantung dari Jawa. Ketergantungan bahan baku luar daerah membuat biaya produksi tinggi.
Di sisi lain, pemasaran batik betuah buatan Suhaemi masih sebatas pesanan. Belum ada galeri atau toko khusus yang memasarkan karyanya secara berkelanjutan.
Kondisi ini memperlihatkan perlunya ekosistem ekonomi kreatif yang lebih kuat: mulai dari penyedia bahan baku lokal, pemasaran berbasis digital, hingga dukungan promosi dari pemerintah.
Batik Betuah, Identitas dari OKI
Nama “batik betuah” dipilih bukan tanpa alasan. Kata betuah dalam bahasa daerah bermakna membawa berkah atau doa baik. Suhaemi ingin setiap kain batik yang lahir dari tangannya bukan hanya bernilai ekonomi, tapi juga sarat makna budaya.
Dari sudut Dusun III inilah, karya-karya batik betuah lahir. Bukan sekadar produk, tapi juga simbol perjuangan pelaku IKM yang berusaha bertahan di tengah keterbatasan.
Ekonomi Kreatif sebagai Jalan Keluar
Kisah Suhaemi menegaskan bahwa ekonomi kreatif bisa menjadi jalan keluar bagi masyarakat desa dalam meningkatkan pendapatan. Industri kreatif berbasis budaya seperti batik dan songket bukan hanya menjaga warisan leluhur, tapi juga membuka lapangan kerja.
Sayangnya, tanpa dukungan nyata berupa modal, promosi, dan pemasaran, usaha kecil seperti milik Suhaemi berpotensi jalan di tempat. Padahal, jika dikelola serius, batik betuah bisa menjadi identitas baru dari OKI yang mendunia.
Pemerintah daerah diharapkan tidak hanya berhenti pada pelatihan, tapi juga memberi insentif berupa fasilitasi pemasaran, bantuan modal usaha, serta pendampingan manajemen.
“Kalau ada perhatian lebih, kami bisa berkembang. Bukan hanya untuk saya pribadi, tapi juga ibu-ibu lain yang ikut membantu membatik,” harap Suhaemi.
Harapan untuk Masa Depan
Bagi Suhaemi, bertahan di jalur batik tulis bukan perkara mudah. Namun semangatnya menunjukkan bahwa ekonomi kreatif di desa punya potensi besar untuk berkembang.
Kini, ia hanya berharap dukungan dari berbagai pihak terus mengalir. Dengan begitu, batik betuah dari Pematang Bukuran bisa berdiri sejajar dengan batik-batik dari daerah lain di Indonesia.
“Batik itu bukan sekadar kain, tapi identitas bangsa. Kalau bukan kita yang menjaga dan mengembangkannya, siapa lagi?” pungkasnya.
penulis : asep