
MUBA, cimutnews.co.id – Denting musik tradisional menggema di halaman Kantor Camat Sungai Lilin, Selasa malam (30/9/2025). Suasana malam itu berbeda. Festival Randik tahun ini menghadirkan pertunjukan senjang, seni berbalas pantun khas Musi Banyuasin (Muba) yang bukan sekadar hiburan, melainkan juga sarat makna sosial.

Dua seniman tampil bergantian, melontarkan pantun dengan gaya khas: kadang jenaka, kadang satir, namun penuh pesan moral. Penonton larut, tertawa, bertepuk tangan, bahkan beberapa berani membalas dengan pantun spontan. Dalam sekejap, panggung sederhana berubah menjadi arena komunikasi rakyat yang hangat dan hidup.
Senjang: Bukan Sekadar Hiburan
Menurut peneliti budaya sekaligus dosen Magister Ilmu Komunikasi Stisipol Candradimuka Palembang, Arif Ardiansyah, senjang adalah warisan tradisi yang memiliki fungsi lebih luas dari sekadar tontonan.
“Senjang itu ibarat koran rakyat. Ia bisa menyampaikan kabar, menegur kebijakan, bahkan mengingatkan norma sosial. Bedanya, semua itu dilakukan dengan santun, jenaka, dan tetap menghibur,” jelasnya.
Senjang, kata Arif, sudah lama menjadi bagian dari masyarakat Muba. Di masa lalu, senjang menjadi media efektif menyampaikan pesan di tengah keterbatasan akses informasi. Kini, meski media modern dan digital semakin mendominasi, senjang masih bertahan karena memiliki kekuatan khas: kritik yang membangun melalui pantun.
Dari Jalan Rusak Hingga Pesan Moral
Malam itu, salah satu seniman melontarkan pantun tentang jalan rusak di wilayah Muba. Penonton langsung bersorak setuju, beberapa bahkan menyahut dengan komentar spontan. Alih-alih menimbulkan suasana panas, kritik itu justru menimbulkan gelak tawa dan renungan bersama.
Inilah kekuatan senjang. Ia mampu mengemas persoalan serius dengan cara yang ringan, sehingga pesan tetap sampai tanpa melukai. Pantun bukan hanya sekadar kata-kata berima, melainkan alat komunikasi sosial yang efektif.
“Kalau dikritik lewat media sosial, kadang orang tersinggung. Tapi kalau lewat pantun senjang, semua bisa menerima dengan tertawa. Inilah kearifan lokal yang patut dijaga,” tambah Arif.
Senjang di Era Media Sosial
Fenomena menarik dari Festival Randik tahun ini adalah perpaduan tradisi dengan teknologi digital. Banyak penonton yang merekam penampilan senjang menggunakan ponsel mereka, lalu membagikannya ke TikTok dan Instagram.
Hasilnya? Potongan video pantun segar dengan kritik sosial ringan langsung viral. Dari sebuah panggung lokal, pesan itu menjangkau ribuan penonton di dunia maya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa senjang mampu beradaptasi dengan zaman. Tradisi yang dulunya hanya bisa dinikmati di panggung desa, kini bisa hadir di layar gawai dan masuk ke ruang digital generasi muda.
“Senjang punya peluang besar untuk mendunia. Kontennya singkat, lucu, menghibur, tapi juga penuh makna. Sangat cocok untuk platform digital hari ini,” ujar salah seorang penonton, Rian (28), yang ikut mengunggah potongan video ke TikTok pribadinya.
Senjang sebagai Folk Media
Dalam kajian komunikasi, senjang termasuk kategori folk media, yaitu media berbasis tradisi yang digunakan untuk menyampaikan pesan sosial, budaya, dan politik. Folk media memiliki kelebihan karena dekat dengan masyarakat, menggunakan bahasa yang sederhana, dan mengandung kearifan lokal.
Festival Randik menjadi bukti bahwa komunikasi tradisional tidak kalah penting dibanding media modern. Meski kini masyarakat bisa mendapatkan berita dari internet, senjang tetap relevan sebagai ruang dialog kultural.
Pantun yang dilontarkan malam itu tidak hanya menghibur, tapi juga mengajarkan nilai: tentang pentingnya gotong royong, menjaga norma sosial, hingga mengingatkan pemimpin untuk mendengar suara rakyat.
Tradisi yang Tak Lekang Zaman
Seiring malam bertambah larut, suara pantun senjang terus menggema. Penonton enggan beranjak, seakan terhipnotis oleh alunan musik tradisional yang mengiringi syair pantun.
Bagi masyarakat Muba, senjang bukan hanya warisan budaya, melainkan juga identitas kolektif. Ia merepresentasikan cara orang Muba berkomunikasi: hangat, egaliter, dan penuh kreativitas.
Festival Randik 2025 membuktikan bahwa kearifan lokal masih memiliki ruang di tengah gempuran budaya digital. Tradisi ini tidak hanya bertahan, tapi juga bertransformasi menjadi jembatan untuk memahami persoalan hari ini dengan cara yang santun.
Dari panggung Sungai Lilin, senjang kembali tegak sebagai suara rakyat Muba yang tidak lekang oleh zaman. (noto)













