Palembang, cimutnews.co.id – Drama hukum pasca Pilkada Sumatera Selatan 2024 belum usai. Dua gugatan terhadap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sumsel yang diajukan oleh Lembaga Pengawasan Pemilu Suara Rakyat (LPP Surak) dan Edy Santana Putra (ESP) melalui dua perkara terpisah di PTUN Palembang telah resmi diputus pada awal Juli 2025. Hasilnya, kedua gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima karena pengadilan menyatakan tidak berwenang secara absolut.
Namun cerita belum berakhir. LPP Surak menegaskan akan mengajukan banding atas putusan tersebut. Hal ini dikonfirmasi langsung oleh Ketua LPP Surak, Syapran Suprano, pada Kamis (10/7/2025).
Putusan PTUN dan Objek Sengketa
Perkara nomor 14/G/TF/2025/PTUN.PLG yang diajukan LPP Surak diputus pada 3 Juli 2025. Dalam amar putusannya, majelis hakim menerima eksepsi tergugat, dalam hal ini Bawaslu Sumsel, terkait kompetensi absolut. Pengadilan menilai bahwa objek sengketa bukan ranah PTUN, melainkan sengketa pemilu yang seharusnya diselesaikan melalui mekanisme Bawaslu atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Dengan demikian, gugatan dinyatakan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) atau tidak dapat diterima. Penggugat juga dibebankan biaya perkara sebesar Rp373.000.
Meski kalah di tingkat pertama, Syapran menilai putusan hakim keliru.
“Objek sengketa adalah tindakan faktual yang sudah terjadi setelah tahapan Pilkada selesai. Ini bukan sengketa pemilu, melainkan perbuatan melawan hukum oleh badan publik yang bersikap diam, sehingga layak diuji di PTUN,” ujarnya.
Dugaan Politik Uang dan Inaktifnya Bawaslu
Inti dari gugatan LPP Surak dan ESP adalah dugaan tindakan inaktif (diam) oleh Bawaslu Sumsel atas laporan pembagian paket sembako yang dilakukan oleh pasangan HDCU (Herman Deru–Cik Ujang) menjelang masa tenang Pilkada 2024.
Kuasa hukum LPP Surak, Thabrani, SH, didampingi Muhammad Ardha Ibrahim, SH, MH, ECIH dan Agus Andika, SH, menyatakan bahwa tindakan Bawaslu tersebut merupakan onrechtmatige overheidsdaad atau perbuatan melawan hukum oleh badan pemerintahan.
“Bukan soal pelanggaran tahapan pemilu, tapi ketidakaktifan lembaga negara terhadap dugaan pelanggaran etika dan hukum yang nyata dilaporkan oleh masyarakat,” tegas Thabrani.
Gugatan ESP dan Aksi Damai Warga
Gugatan terpisah nomor 8/G/TF/2025/PTUN.PLG diajukan oleh kuasa hukum Nikosa Yamin Bachtiar atas nama ESP (Edy Santana Putra). Hingga kini belum ada konfirmasi resmi apakah perkara ini juga akan dibawa ke tingkat banding.
Menariknya, menjelang putusan perkara LPP Surak, pada 2 Juli 2025 terjadi aksi damai di depan kantor PTUN Palembang. Massa aksi terdiri dari warga lintas kalangan, termasuk ibu-ibu majelis taklim.
Meski muncul dugaan keterkaitan dengan gugatan LPP Surak, Syapran menegaskan bahwa aksi tersebut bukan bagian dari gerakan resmi lembaganya.
“Secara kelembagaan maupun hukum, kami tidak terlibat dalam aksi itu,” ujarnya.
Namun publik mencatat bahwa tim kuasa hukum dalam kedua gugatan ini memiliki personel yang sama, sehingga batas antara gerakan sipil dan proses hukum menjadi kabur di mata masyarakat.
PTUN: Masih Terbuka untuk Banding
Humas PTUN Palembang, Muhammad Rasyid Ridho, menyatakan bahwa kedua putusan ini belum inkrah, dan para pihak masih punya waktu 14 hari sejak pembacaan putusan untuk mengajukan banding.
“Masih dalam tahap analisis hukum lanjutan. Kasus ini juga menarik karena menyentuh batasan antara kewenangan PTUN dan lembaga pengawas pemilu,” jelas Ridho.
Ia menambahkan, kasus seperti ini cukup langka karena berada di luar masa tahapan resmi pemilu, namun tetap menyangkut potensi pelanggaran elektoral yang berdampak luas.
Dimensi Politik dan Etika Pemilu
Sengketa ini mencerminkan kompleksitas pengawasan pemilu di tingkat daerah. Terutama soal kejelasan jalur hukum bagi masyarakat atau pengawas independen ketika mendapati praktik politik uang atau penyalahgunaan bansos yang terjadi di luar masa tahapan resmi.
Jika banding LPP Surak dikabulkan di tingkat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), maka Bawaslu Sumsel bisa diminta bertanggung jawab atas sikap diamnya dalam menanggapi laporan masyarakat.
Di sisi lain, proses ini menjadi pengingat penting bagi Bawaslu se-Indonesia bahwa pengawasan pemilu tidak boleh berhenti di meja tahapan, melainkan juga mencakup tindakan aktif terhadap praktik-praktik yang mencederai demokrasi, kapan pun waktunya.
Perlawanan Hukum Belum Selesai
Hingga berita ini ditayangkan, tim hukum LPP Surak tengah menyusun memori banding untuk perkara nomor 14/G/TF/2025. Nasib perkara ESP masih belum diketahui. Namun satu hal jelas: sengketa hukum ini belum mencapai garis akhir.
Apakah sikap diam lembaga negara bisa digugat sebagai perbuatan melawan hukum? Ataukah harus tetap dianggap sebagai bagian dari sengketa pemilu yang tidak bisa masuk ranah PTUN?
Jawaban dari tingkat banding nanti akan menjadi preseden penting bagi masa depan penegakan hukum dan etika pemilu di Indonesia.
Laporan: Poerba
Editor: Redaksi cimutnews.co.id