Beranda Utama Karantina Sumsel Gelar Coffee Morning Bertema “Crisis Communication & Digital Storytelling”: Bangun...

Karantina Sumsel Gelar Coffee Morning Bertema “Crisis Communication & Digital Storytelling”: Bangun Narasi Humanis di Era Digital

2
0
BERBAGI
Aroma kopi hangat menyambut para tamu dari kalangan media, praktisi komunikasi, hingga pejabat struktural dalam forum bertajuk “Crisis Communication & Digital Storytelling: Strategi Terpadu Media Relations untuk Karantina Era Digital.”

PALEMBANG, cimutnews.co.id – Jumat pagi (11/7/2025) di lantai 2 Kantor Karantina Sumatera Selatan berubah menjadi ruang dinamis pertukaran ide dan gagasan. Aroma kopi hangat menyambut para tamu dari kalangan media, praktisi komunikasi, hingga pejabat struktural dalam forum bertajuk “Crisis Communication & Digital Storytelling: Strategi Terpadu Media Relations untuk Karantina Era Digital.”

foto bersama

Tidak seperti forum formal yang kaku, Coffee Morning ini menghadirkan suasana akrab dan dialogis. Kepala Balai Karantina Sumsel, drh. Sri Endah Ekandari, M.Si, membuka acara dengan pesan kuat mengenai pentingnya peran komunikasi di balik kerja teknis lembaga.

“Karantina bukan hanya tentang pemeriksaan dan sertifikasi. Kami juga bertanggung jawab menyampaikan informasi secara humanis dan tepat sasaran,” ujar Sri Endah.

Dari Penjaga Perbatasan Hayati ke Komunikator Publik

Dalam era digital yang dipenuhi arus informasi cepat dan liar, Sri Endah menekankan bahwa public trust adalah aset penting yang harus dirawat. Menurutnya, wajah Karantina harus bertransformasi—bukan sekadar institusi teknokratis, tapi juga sebagai komunikator publik yang mampu menjelaskan sekaligus menyentuh.

“Di balik penyekatan komoditas, ada upaya menjaga ketahanan pangan dan melindungi masyarakat dari ancaman biologis. Itu cerita yang harus sampai ke publik,” tuturnya.

Praktisi Berbagi: Dari Yasser Arafat hingga Storytelling Institusi

Forum semakin menarik dengan kehadiran Lucia Weny Ramdiastuti, jurnalis senior yang pernah mewawancarai langsung pemimpin revolusioner Palestina, Yasser Arafat. Lucia berbagi strategi bagaimana institusi bisa menjadi sosok yang dipercaya di tengah derasnya arus disinformasi.

“Di era digital, kita tidak cukup hanya responsif. Kita harus proaktif dengan cerita yang menyentuh, bukan hanya angka dan data,” ucap Lucia. Ia menegaskan pentingnya membangun citra sebagai guardian yang friendly—menghadirkan rasa aman dengan empati, bukan rasa takut.

Selanjutnya, Muhamad Fajar Wiko, Ketua AJI Palembang Coverage Sumsel, menyoroti digital storytelling dan komunikasi krisis di era transparansi penuh. Ia mengingatkan bahwa media sosial adalah pisau bermata dua.

“Narasi publik tidak bisa dibangun dengan template. Dibutuhkan kejujuran, kesigapan, dan konsistensi,” ujar Fajar.

Simulasi Krisis: Komunikasi yang Teruji Tekanan

Peserta juga diajak merasakan tekanan nyata lewat simulasi krisis dan roleplay. Dalam skenario penyelundupan komoditas ilegal atau potensi wabah, pegawai Karantina diuji menyusun pernyataan publik, menggelar media briefing, dan menjaga koordinasi ketika berita miring mulai menyebar.

Hasilnya, para peserta menyadari bahwa komunikasi krisis bukan soal cepat bicara, tapi tepat dan dipercaya.

Jurnalis: Kami Butuh Akses, Bukan Hanya Rilis

Feny, salah satu jurnalis yang hadir, menyambut positif forum ini. Baginya, acara semacam ini menjadi titik temu yang penting antara media dan lembaga pemerintah.

“Kami butuh lebih dari sekadar rilis. Kami butuh konteks dan ruang dialog dua arah. Coffee morning seperti ini membuka pintu itu,” katanya.

Menuju Karantina Era Baru

Forum ini bukan sekadar diskusi, tapi simbol pergeseran paradigma komunikasi lembaga pemerintah, termasuk yang berwajah teknis seperti Karantina. Kepala Karantina Sumsel, Sri Endah, berharap sinergi dengan media terus diperkuat dalam menghadapi kompleksitas komunikasi publik di era digital.

“Kami butuh media sebagai mitra, bukan sekadar corong. Kami ingin membangun citra bersama, berpijak pada transparansi dan kecepatan informasi,” tutupnya.

Coffee Morning ini menjadi bagian dari sinergi pentahelix—antara pemerintah, media, akademisi, masyarakat, dan pelaku usaha—yang tidak hanya dibangun saat krisis, tapi ditanam dalam rutinitas komunikasi yang sehat dan produktif.

Dengan narasi yang kuat dan empati yang tulus, Karantina Sumsel menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar penjaga perbatasan hayati, tapi juga penjaga kepercayaan publik.

Laporan: Poerba
Editor: Redaksi Cimutnews
cimutnews.co.id — Menguatkan Suara Daerah di Era Digital

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here