Oleh: Trisno Okonisator
Wartawan / ketua DPD PU OKI.
Kelangkaan LPG 3 kg kembali menghantui warga Palembang. Antrean panjang di pangkalan, harga yang meroket di pengecer, dan kebijakan yang berubah-ubah membuat situasi semakin tidak menentu. Setiap kali persoalan ini muncul, pertanyaan yang sama selalu terlontar: siapa yang harus bertanggung jawab?
Sebagian orang menuding pemerintah, baik pusat maupun daerah, karena gagal mengantisipasi lonjakan permintaan dan tidak melakukan pengawasan ketat terhadap distribusi. Di sisi lain, ada juga yang menyalahkan pengecer nakal yang memainkan harga sesuka hati. Namun, tidak sedikit pula yang beranggapan bahwa perilaku konsumsi masyarakat yang tidak tepat sasaran turut memperburuk keadaan.
Bermasalah dari Hulu ke Hilir
Persoalan ini sebenarnya bukan hal baru. Setiap tahun, terutama menjelang Ramadan dan Lebaran, kelangkaan LPG 3 kg selalu berulang. Pemerintah sering berdalih bahwa pasokan cukup, hanya saja distribusinya tersendat. Pernyataan ini terdengar klasik, sebab jika pasokan benar-benar cukup, mengapa masyarakat tetap kesulitan mendapatkannya?
Masalah utamanya ada pada rantai distribusi yang berlapis-lapis. Dari Pertamina, LPG disalurkan ke agen, lalu ke pangkalan, dan akhirnya sampai ke konsumen. Di setiap tahap ini, selalu ada peluang permainan harga. HET LPG 3 kg untuk Sumatera Selatan ditetapkan Rp15.650 per tabung, tetapi kenyataan di lapangan jauh berbeda. Pengecer sering menjual dengan harga Rp20.000 hingga Rp25.000, bahkan lebih di daerah tertentu.
Pemerintah daerah pun tak bisa lepas tangan. Pengawasan yang lemah membuat distribusi LPG rawan diselewengkan. Misalnya, ada kasus di mana LPG subsidi justru dipasok ke restoran atau usaha menengah yang seharusnya tidak berhak.
Kebijakan yang Membingungkan
Kebijakan pemerintah juga sering kali membingungkan. Baru-baru ini, distribusi LPG 3 kg sempat dibatasi hanya untuk pangkalan resmi, dengan dalih agar subsidi lebih tepat sasaran. Namun, kebijakan ini justru menyulitkan masyarakat karena tidak semua bisa mengakses pangkalan dengan mudah. Akibatnya, muncul kepanikan, dan harga di pasar gelap pun melonjak.
Setelah banyaknya keluhan, pemerintah akhirnya mencabut larangan tersebut, membolehkan pengecer kembali menjual LPG 3 kg. Tapi keputusan yang berubah-ubah ini menunjukkan bahwa perencanaan kebijakan masih lemah. Alih-alih memberikan solusi, justru memperkeruh keadaan.
Masyarakat Juga Punya Peran
Di sisi lain, masyarakat juga punya peran dalam kelangkaan ini. LPG 3 kg sejatinya diperuntukkan bagi keluarga miskin dan usaha mikro. Namun, faktanya, banyak rumah tangga mampu tetap menggunakan LPG subsidi karena alasan harga lebih murah. Kesadaran masyarakat untuk beralih ke LPG non-subsidi masih rendah, sementara pengawasan pemerintah terhadap pengguna akhir nyaris tidak ada.
Jika pola konsumsi seperti ini terus dibiarkan, maka kelangkaan LPG 3 kg akan terus berulang. Mereka yang benar-benar membutuhkan akan selalu menjadi korban.
Solusi: Tegas dan Konsisten
Persoalan LPG 3 kg di Palembang dan daerah lain tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan reaktif. Pemerintah harus mengambil langkah konkret dan konsisten. Beberapa hal yang bisa dilakukan:
1. Distribusi yang Transparan – Pemerintah harus memastikan LPG subsidi hanya dijual kepada mereka yang berhak. Digitalisasi distribusi dengan sistem berbasis KTP atau aplikasi bisa menjadi solusi.
2. Pengawasan Ketat – Agen dan pangkalan harus diawasi lebih ketat agar tidak bermain harga atau menjual kepada pihak yang tidak berhak.
3. Edukasi dan Sosialisasi – Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa LPG 3 kg bukan untuk semua orang. Kampanye penggunaan LPG non-subsidi harus lebih masif.
4. Stabilitas Kebijakan – Pemerintah harus berhenti membuat kebijakan yang berubah-ubah. Jika ingin mengatur distribusi, lakukan perencanaan matang agar tidak merugikan masyarakat.
Kelangkaan LPG 3 kg bukan sekadar soal pasokan dan distribusi. Ini adalah masalah klasik yang mencerminkan banyaknya celah dalam tata kelola energi bersubsidi di Indonesia. Tanpa langkah nyata dan keberanian untuk bertindak tegas, perdebatan tentang “salah siapa” akan terus berulang, tanpa solusi yang benar-benar menyelesaikan masalah.( *)