
Oleh: Ahli Pers Dewan Pers, Ketum DPP Pro Jurnalismedia Siber, Direktur LPPJ Westra Institute
cimutnews.co.id – Jakarta – Profesi wartawan bukan sekadar pekerjaan. Ia adalah panggilan nurani, panggilan etika, sekaligus tanggung jawab sosial. Wartawan merupakan penjaga informasi publik dan penyambung nalar demokrasi yang memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan kepentingan rakyat. Karena itu, profesi ini tidak bisa dilakukan setengah hati—apalagi dijalankan bersamaan dengan jabatan struktural lain seperti Aparatur Sipil Negara (ASN), pengurus LSM, atau profesi hukum.
Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh laporan investigasi media daring yang membongkar praktik memalukan: jual beli kartu identitas wartawan kepada ASN dengan tarif antara Rp400.000 hingga Rp500.000. Praktik seperti ini jelas mencoreng wajah jurnalisme profesional di Indonesia. Wartawan tidak bisa lahir dari transaksi. Ia harus dibentuk oleh integritas, dedikasi, dan pemahaman etika jurnalistik yang mendalam.
Sebagai Ahli Pers Dewan Pers, saya menyesalkan tindakan media yang memperjualbelikan identitas wartawan kepada pihak yang tidak memenuhi kualifikasi. Dewan Pers harus segera memanggil pimpinan redaksi media tersebut untuk klarifikasi. Jika terbukti, sanksi tegas wajib dijatuhkan demi menjaga martabat profesi ini.
Wartawan Bukan “Sambilan”
Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi—sering disebut sebagai prinsip 6M. Aktivitas ini bukan pekerjaan ringan. Ia menuntut totalitas, kehadiran di lapangan, verifikasi data, wawancara yang dalam, serta penyampaian informasi secara adil dan bertanggung jawab.
Maka, menjadi wartawan tak bisa dilakukan sambil lalu. Seorang ASN, yang memiliki beban tanggung jawab administratif dan loyalitas struktural kepada negara, tidak mungkin bisa secara bersamaan menjalankan fungsi jurnalistik secara independen dan profesional.
Konflik Kepentingan: Ancaman Nyata terhadap Independensi
Mengapa profesi wartawan tidak boleh dirangkap oleh ASN, TNI/Polri, pengacara, atau pengurus LSM? Jawabannya terletak pada prinsip utama jurnalisme: independensi dan netralitas.
Wartawan adalah mata dan telinga publik. Ia tidak boleh berpihak. Ketika seseorang yang berada dalam struktur kekuasaan sekaligus memegang identitas wartawan, maka garis batas antara pengawasan dan keterlibatan menjadi kabur. Apakah ia akan berani mengkritisi sistem yang menggajinya? Atau justru menggunakan identitas wartawan untuk memperkuat pengaruh dan posisi dalam struktur kekuasaan?
Itulah sebabnya Pedoman Organisasi Pers dan kebijakan Dewan Pers secara tegas melarang rangkap jabatan. Ini bukan pembatasan, melainkan perlindungan terhadap integritas jurnalisme.
Ancaman Manipulatif dari Identitas Wartawan Palsu
Identitas wartawan yang diperjualbelikan membuka ruang penyalahgunaan yang serius. Ia dapat digunakan untuk pemerasan, intimidasi, intervensi kebijakan, atau bahkan mencoreng nama baik institusi tempatnya bekerja. Fenomena ini bukan hanya merugikan citra profesi, tetapi juga membahayakan relasi publik terhadap media.
Dewan Pers dan aparat penegak hukum harus bertindak cepat. Panggil, periksa, dan tindak media yang memperjualbelikan kartu pers tanpa melalui mekanisme yang sah. Jangan biarkan profesi ini menjadi pelarian atau topeng bagi kepentingan yang menyimpang.
Jurnalisme untuk Demokrasi, Bukan untuk Citra Semu
Jika wartawan dibajak oleh orang-orang yang tidak mengerti etikanya, maka kita akan menyaksikan jurnalisme kehilangan jiwanya. Ia tidak lagi menjadi pengawas kekuasaan, tapi justru alat kekuasaan. Ia tidak lagi menyuarakan suara publik, tapi menjadi corong pencitraan.
Dalam sistem demokrasi, pers adalah pilar keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jika pilar ini keropos, demokrasi kehilangan keseimbangan. Maka, menjaga marwah wartawan berarti menjaga masa depan demokrasi kita.
Penutup: Profesi Wartawan Bukan Milik Semua Orang
Saya menyerukan kepada semua pemangku kepentingan—media, pemerintah, ASN, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil—untuk kembali menghormati batas etik dan profesionalisme. Profesi wartawan bukan milik semua orang. Ia hanya layak diemban oleh mereka yang siap menegakkan kebenaran, menjunjung etika, dan berdedikasi penuh kepada kepentingan publik.
Jika kita tidak menjaganya hari ini, maka kita sedang menggali lubang ketidakpercayaan publik yang makin dalam. Saatnya kembali kepada jurnalisme yang bermartabat—bukan jurnalisme yang bisa dibeli.